Aliffaum Mahdya Yusuf
165030701111014
Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Di era digital dewasa ini, penggunaan dan pemanfaatan teknologi komputerisasi kian meningkat. Teknologi koputerisasi diciptakan untuk mempermudah pekerjaan manusia, tak terkecuali pada pengorganisasian informasi pada lembaga informasi. Penggunaan dan pemanfaatan dalam organisasi informasi ini tentu saja ditunjang dengan adanya perangkat lunak atau software yang mumpuni dan disesuaikan dengan kebutuhan.
Salah satu lembaga informasi yang melakukan pengorganisasian informasi adalah lembaga perpustakaan. Menurut Yuyun Yulia dan Mustafa B. (2007) dalam Widodo H. Wijoyo (2009), organisasi informasi adalah kegiatan mengorganisasi informasi agar informasi dapat diketahui lokasi fisik melalui nomor panggil, dikenali melalui sajian ringkas dari bahan pustaka (cantuman bibliografi) dan menunjang temu kembali. Sedangkan informasi adalah sekumpulan data yang telah diproses dalam format atau sistem tertentu yang dapat memberikan arti, manfaat, dan kejutan (surprise) bagi yang menerimanya dan bersifat tidak statis, dan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini berarti organisasi informasi dalam konteks perpustakaan adalah pengelolaan bahan pustaka sebagai sumber informasi demi keberlangsungan suatu lembaga perpustakaan.
Untuk melakukan pengorganisasian informasi dalam lembaga perpustakaan, seperti pada pengelolaan katalog digital, diperlukan perangkat keras berupa komputer dan perangkat lunak berupa aplikasi katalog digital. Salah satu perangkat lunak atau aplikasi katalog digital yang banyak digunakan dalam lembaga perpustakaan adalah SLiMS. SLiMS merupakan akronim dari Senayan Library Management System. Aplikasi SLiMS dikembangkan oleh Departement Pendidikan Nasional Republik Indonesia menggunakan PHP, BASISDATA, MySQL, dan menggunakan Versi Gift pada tahun 2009 SLIMS memenangi INAICTA pada tahun 2009 dengan kategori Open Source.
Secara umum software aplikasi SLiMS memiliki fungsi yang efektif untuk membantu pustakawan dalam melakukan pengorganisasian informasi. Secara terperinci keefektifan SLiMS dapat dijabarkan sebagai berikut.
Efektifitas dalam sistem temu kembali. SLiMS memiliki kemampuan dari sistem untuk memanggil berbagai dokumen atau informasi dari suatu database sesuai dengan permintaan pengguna.
Efektifitas dalam sistem pelayanan sirkulasi. Layanan sirkulasi mencakup semua bentuk kegiatan pencatatan yang berkaitan dengan pemanfaatan, penggunaan koleksi perpustakaan dengan tepat guna dan tepat waktu untuk kepentingan pengguna jasa perpustakaan. SLiMS secara otomatis akan mampu memudahkan para pustakawan dalam mendukung layanan sirkulasi perpustakaan.
Efektifitas layanan referensi bagi pengguna. Pemustaka dapat mengakses data atau informasi perpustakaan mereka melalui laptop, smartphone, atau bahkan komputer PC di rumah mereka dengan mudah, tidak seperti aplikasi-aplikasi desktop dimana pengguna harus menginstal perangkat lunak atau aplikasi yang diperlukan hanya untuk mengakses data/informasi.
Efektivitas SLiMS cukup baik di bidang pengolahan dan temu kembali informasi. Ini dibuktikan dengan kemudahan dalam menemukan informasi yang dibutuhkan secara tepat dan akurat. Namun disayangkan dengan kemudahan yang diberikan, ternyata belum mampu meningkatkan secara signifikan jumlah pemustaka yang mengakses perpustakaan. Ini berarti keefektifan dari penggunaan software SLiMS dalam hal menarik pemustaka untuk mengakses koleksi yang dimiliki perpustakaan belum maksimal.
Dalam penggunaan dan pemanfaatan aplikasi SLiMS ini tentu saja masih ada kendala yang dapat menimbulkan permasalahan. Kendala tersebut diantaranya dapat disebabkan oleh sumber daya manusianya maupun dari sumber daya non manusia seperti sarana dan prasarana. Namun sumber daya manusia sebagai sumber daya utama menjadi salah satu faktor utama dikarenakan sumber daya manusianya yang menjalankan dan mengembangkan pemanfaatan dari perangkat lunak atau aplikasi pendukung pengorganisasian informasi.
Adanya faktor semacam ini dapat dianggap sebagai situasi yang kurang ideal. Lembaga informasi yang berpotensi memiliki permasalahan seperti ini adalah pada lembaga informasi yang masih dalam tahap membangun sampai berkembang. Pada tahap-tahap seperti ini, suatu pada lembaga informasi cenderung lebih rentan untuk mendapat permasalahan semacam ini dikarenakan dari sumber daya manusianya yang masih pada tahap belajar hingga dari infrastruktur yang masih belum lengkap. Karena sumber daya manusia yang masih tahap belajar, maka masih terdapat kemungkinan sumber daya manusia tersebut masih minim pengalaman, apalagi ditambah dengan infrastuktur yang kurang lengkap sebagai media untuk belajar.
Untuk mengatasi permasalahan seperti itu, ada beberapa strategi untuk meningkatkan pemanfaatan perangkat lunak atau aplikasi yang digunakan untuk mengorganisasikan informasi pada lembaga perpustakaan. Misalnya dengan melakukan workshop SLiMS atau dengan melakukan kerjasama dengan ahli di bidang aplikasi. Kegiatan workshop SLiMS dapat diberikan kepada pustakawan sebagai pengelola perpustakaan. Meskipun pustakawan tidak ahli dalam bidang aplikasi atau perangkat lunak, setidaknya para pustakawan memiliki bekal pengetahuan mengenai cara pengaplikasian atau cara penggunaannya. Hal ini dilakukan agar pemanfaatan aplikasi perangkat lunak pada perpustakaan semakin maksimal dan dapat mencapai tingkat ideal. Strategi selanjutnya yaitu dapat dengan melakukan kerjasama dengan ahli di bidang aplikasi perangkat lunak. Hal ini dapat menjadi strategi yang bagus agar layanan digital pada perpustakaan memiliki kualitas yang baik, sehingga untuk pemenuhan kebutuhan dari pengguna juga dapat dilakukan secara maksimal. Peningkatan kualitas pelayanan digital semacam ini berkenaan dengan kondisi pengguna saat ini yang didominasi oleh generasi alpha yang fasih dalam teknologi serta sering menggunakan teknologi dalam kehidupan sehari-harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Hardana, Agung Wahyu. 2016. PENGERTIAN SLIMS. http://www.agungwh26.com/2016/10/pengertian-slims.html. Diakses pada 25 Mei 2018.
Ningrum, Dina Rahma, dkk. 2013. EVALUASI PENERAPAN PENGGUNAAN SOFTWARE PADA ORGANISASI (Studi Kasus Penerapan Penggunaan Software Senayan pada Perpustakaan). http://rizkidewantara.lecture.ub.ac.id/files/2013/10/makalah-kelompok-8-IP.pdf. Diakses pada 19 Oktober 2018.
Wijoyo, Widodo H. 2009. PERTEMUAN 1 (MODUL 1: ORGANISASI INFORMASI). http://widodo.staff.uns.ac.id/2009/03/20/pertemuan-1-modul-1-organisasi-informasi/. Diakses pada 18 Oktober 2018.
Friday, October 19, 2018
Wednesday, October 17, 2018
Peran Layanan Referensi Digital sebagai Sumber Informasi Autentik dan Kredibel di Era Post-Truth
Aliffaum
Mahdya Yusuf
Prodi
Perpustakaan dan Ilmu Informasi
Fakultas
Ilmu Administrasi – Universitas Brawijaya
aliffamahdyay@gmail.com
Abstrak
Layanan referensi digital yang saat ini
menjadi inovasi baru pada perpustakaan dan mulai bermunculan serta diterapkan.
Layanan ini diharapkan mampu untuk membantu masyarakat informasi dalam memilih
dan memilah informasi yang tersebar di era post-truth
saat ini. Era post-truth saat ini
menimbulkan dampak yang cukup signifkan terhadap tingkat keautentikan dan
kredibilitas suatu informasi dikarenakan menimbulkan kesimpang siuran keaslian
dan keabsahan suatu informasi. Sumber informasi menjadi salah satu faktor
penentu benar tidaknya suatu informasi yang tersebar di masyarakat.
Perpustakaan dengan adanya layanan referensi digital dapat mengambil peran
serta dalam menyelesaikan permasalahan ini sebagai salah satu sumber informasi
yang autentik dan kredibel.
Kata
kunci: Layanan Referensi, Informasi Palsu, Pustakawan
Referensi, Sumber Informasi Digital
Abstract
Digital
reference services that are now a new innovation in libraries and migration and
are implemented. This services make it possible to help the information community
in selecting and sorting information that is spread in the current post-truth
era. The current post-truth era is very important to improve and improve
information as a result of the confusion of information authenticity and
validity. Information sources are one of the factors determining whether or not
information is spread throughout the community. Libraries with digital services
can be digital and the right information as one of the authentic and credible
information.
Keywords:
Reference Services, False Information, Reference Librarians, Digital
Information Sources
Pendahuluan
Era yang sedang terjadi
pada saat ini yaitu era post-truth. Post-truth merupakan era di mana
keyakinan, emosi, maupun perasaan pribadi lebih berpengaruh dan mampu membentuk
suatu opini publik dibandingkan dengan fakta-fakta obyektif. Maraknya era ini
dimulai sejak tahun 2016 di mana kelimpahan informasi menimbulkan permasalahan
lain seperti banyaknya kemunculan berita bohong atau hoax. Merebaknya informasi palsu atau hoax ini menjadi tanda dimulainya era post-truth. Post-truth
sejatinya berbeda dengan hoax, namun
keberadaan post-truth ditimbulkan
oleh banyaknya berita maupun informasi palsu atau hoax yang tersebar ke masyarakat serta tidak didasari dengan data
yang valid dan hanya berdasarkan sumber opini pribadi yang tidak autentik dan
kredibel.
Di era post-truth saat ini, informasi palsu
lebih mudah tersebar melalui media informasi digital seperti internet hingga
media sosial. Hal tersebut semakin didukung karena adanya kemudahan dan
kecepatan akses informasi. Dengan adanya kemudahan dan kecepatan akses tersebut
informasi mudah dan cepat tersebar pula. Namun ketepatan dan kebenaran
informasi tersebut terkadang tidak terjamin dan tidak dapat dipertanggung jawabkan
karena sumber informasi yang mempublikaskan serta menyebarkan informasi
tersebut merupakan sumber yang tidak kredibel dan autentik. Oknum yang telah
mempublikasi dan menyebar luaskan informasi palsu tersebut bisa saja hanya
mengungkapkan opini pribadi yang hanya didasari oleh perasaan, emosi, serta
keyakinan pribadi saja.
Di sinilah peran
perpustakaan khususnya pada layanan referensi digital untuk membendung dan
menyaring informasi digital yang sedang tersebar di masyarakat. Perpustakaan
menjadi salah satu sumber informasi yang autentik dan kredibel memiliki tugas
dan fungsi untuk menjadi media pengorganisasian berbagai informasi baik
informasi tercetak maupun informasi digital. Perpustakaan menjadi salah satu
media yang dapat memverifikasi benar tidaknya suatu informasi. Layanan
referensi digital sebagai sarana dan media penyaringan informasi secara digital
perlu dan bahkan harus mengambil peran dalam fenomena era post-truth saat ini.
Dari latar belakang
yang telah dijabarkan di atas, maka dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok
pembahasan dalam artikel ini yaitu tentang “Bagaimana peran layanan referensi
digital sebagai sumber informasi yang autentik dan kredibel dalam menghadapi
era post-truth?”
Tinjauan
Pustaka
1. Konsep Layanan Referensi Digital
Layanan
rujukan atau layanan referensi adalah kegiatan untuk membantu pengguna
menelusur informasi dalam berbagai subjek. Dengan layanan ini pengguna dibantu
untuk menemukan informasi dengan cepat, menelusur informasi dengan lebih
spesifik dan dengan pilihan subjek yang lebih luas, dan memanfaatkan sarana
penelusuran yang tersedia secara optimal. (Pedoman
Perpustakaan Perguruan Tinggi, 2004)
Berdasarkan
Online Dictionary for Library and Information Science, layanan feferensi adalah
semua fungsi yang dilakukan oleh pustakawan yang terlatih bekerja di bagian
referensi untuk memenuhi kebutuhan informasi dari pemustaka (secara langsung,
melalui telepon, atau secara elektronik), tidak terbatas pada menjawab
pertanyaan-pertanyaan substantif, tapi juga membimbing pemustaka untuk memilih
dan menggunakan sarana yang tepat untuk mencari informasi, mengarahkan
pemustaka ke sumber informasi, membantu dalam evaluasi informasi, bahkan
merujuk pada sumber di luar perpustakaan, menjaga statistik referensi, dan
berpartisipasi dalam pengembangan koleksi referensi.
Dalam
perkembangannya, layanan referensi mengalami kemajuan dengan munculnya inovasi
baru yang menjadikan pelayanan referensi menjadi referensi digital atau
referensi virtual. Menurut The
American Library Association’s Reference & User Services Association (RUSA, 2004), referensi virtual merupakan layanan referensi yang diprakarsai secara elektronik,
sering kali secara real-time, di mana
pelanggan menggunakan komputer atau internet untuk berkomunikasi dengan pustakawan referensi, tanpa hadir secara fisik. Saluran komunikasi
yang sering digunakan dalam referensi virtual termasuk chat,
panggilan video, voice over IP, co-browsing, e-mail, dan pesan instan.
Menurut
Online Dictionary for Library and Information Science (ODLIS), layanan
referensi digital berarti layanan referensi diminta dan disediakan melalui
internet, biasanya melalui e-mail, pesan instan (chat), atau formulir pengajuan berbasis website, biasanya dijawab
oleh pustakawan di departemen referensi perpustakaan, kadang-kadang para
peserta dalam referensi kolaboratif sistem melayani lebih dari satu institusi.
2. Konsep Sumber Informasi
Menurut
Andi Setiadji (2011), sumber informasi adalah segala hal
yang dapat digunakan oleh seseorang sehingga mengetahui tentang hal yang
baru,dan mempunyai ciri-ciri yaitu, (1) dapat dilihat, dibaca dan dipelajari, (2)
diteliti, dikaji dan dianalisis (3) dimanfaatkan dan dikembangkan di dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan, penelitian, laboratorium, (4) ditransformasikan kepada
orang lain.
Sumber informasi adalah
media yang berperan penting bagi seseorang dalam menentukan sikap
dan keputusan untuk bertindak. Sumber informasi itu dapat diperoleh dengan bebas
mulai dari teman sebaya, buku-buku, film, video, bahkan dengan mudah membuka
situs-situs lewat internet (Taufia, 2017).
Sumber informasi adalah
segala sesuatu yang menjadi perantara dalam menyampaikan informasi,
media informasi untuk komunikasi massa. Sumber informasi dapat diperoleh
melalui media cetak (surat kabar, majalah), media elektronik (televisi,
radio, internet), dan melalui kegiatan tenaga kesehatan seperti pelatihan yang di
adakan (Notoatmodjo, 2003).
Roger (1983) dalam
Rahmawati (2015) menyatakan bahwa sumber informasi ini yang mempengaruhi kelima komponen (Self
Efficacy, response effectiveness, severity, vulnerability, dan fear), yang kemudian akan mendapatkan salah satu dari adaptive coping response (contoh:
sikap atau niat dalam berperilaku) atau maladaptive coping respose (contoh:
menghindar, menolak). Teori tersebut dikatakan bahwa semakin seseorang mendapatkan
informasi dari berbagai sumber maka kecenderungan seseorang akan mengambil sikap
yang baik pula mengenai suatu hal.
3. Era Post-truth
Kamus Oxford mendefinisikan istilah Post-truth sebagai
kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik
dibanding emosi dan keyakinan personal. Kondisi ini memang memuncak dalam dua
momen politik tersebut yang digerakkan oleh sentimen emosi. Dalam situasi
tersebut, informasi-informasi hoax
punya pengaruh yang jauh lebih besar ketimbang fakta yang sebenarnya.
Istilah post-truth
menurut penjelasan Kamus Oxford digunakan pertama kali tahun 1992. Istilah itu
diungkapkan oleh Steve Tesich di majalah The Nation ketika
merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode
tersebut. Tesich menggarisbawahi bahwa “kita sebagai manusia yang bebas, punya
kebebasan menentukan bahwa kita ingin hidup di dunia post-truth.
Istilah tersebut sendiri sebenarnya sudah dipakai sebelum 1992, namun
dalam pengertian yang sedikit berbeda dan tidak berimplikasi pada makna
kebenaran yang menjadi tidak relevan. Sementara itu Ralph Keyes dalam bukunya The
Post-truth Era (2004) dan comedian Stephen Colber mempopulerkan istilah
yang berhubungan dengan post-truth yaitu truthiness yang
kurang lebih sebagai sesuatu yang seolah-olah benar, meski tidak benar sama
sekali.
Pembahasan
Arus informasi
saat ini dapat tersebar luas secara
cepat dengan adanya media informasi digital seperti melalui internet atau media
sosial. Meningkatnya arus informasi saat ini terjadi seiring dengan adanya
ledakan informasi. Namun ledakan informasi ini sering kali tidak bersumber dari
sumber informasi yang kredibel dan autentik sehingga kebenaran informasi
tersebut belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat yang masih lugu
dan awam akan informasi dari sumber apa saja yang autentik dan kredibel akan
seringkali terkecoh oleh informasi palsu yang tersebar secara cepat melalui
media digital tersebut.
Tersebarnya informasi
palsu di masyarakat ini menjadi awal mula atau cikal bakal terjadinya era post-truth. Dalam era ini, opini pribadi
yang berasal dari keyakinan, emosi, dan perasaan pribadi justru dapat
berpotensi menciptakan opini publik. Opini publik tersebut merupakan informasi
yang dapat disebarluaskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Informasi publik yang telah disebarkan tersebut bisa jadi bukan informasi yang
autentik dan kredibel dikarenakan sumber informasinya hanya berasal dari opini
pribadi yang tidak didasari oleh fakta-fakta autentik.
Kamus Oxford
sendiri mendefinisikan istilah tersebut sebagai kondisi dimana fakta tidak
terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan
personal. Kondisi ini memang memuncak dalam dua momen politik tersebut yang
cenderung lebih digerakkan oleh sentimen emosi ketimbang fakta. Dalam situasi
tersebut, informasi-informasi hoax punya pengaruh yang jauh lebih
besar dan lebih dipercaya oleh publik dibanding dengan fakta yang sebenarnya.
Post-truth
adalah kata sifat yang berarti suatu keadaan di mana daya tarik emosional lebih
berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada fakta yang objektif. Penggunaan
kata ini sebenarnya sudah digunakan sejak lama, namun pada tahun 2016 istilah
ini dijadikan sebagai “word of the year”. Berikut terdapat diagram yang
mengindikasikan jumlah penggunaan istilah post-truth
menurut Oxford Dictionary.
Untuk membendung
ketimpangan antara informasi yang benar dan palsu, informasi perlu didapatkan
dari sumber yang kredibel dan autentik. Kredibel dan autentik yang dimaksud di
sini adalah bahwa sesuatu hal berarti dapat dipercaya karena keasliannya dan memiliki
nilai keabsahan. Informasi dengan keaslian dan keabsahan yang dapat dipercaya
seperti ini tentu saja dapat didapatkan dari sumber informasi yang dapat
dipercaya pula. Informasi yang terpercaya biasanya disebarluaskan oleh instansi
atau lembaga resmi yang terpercaya seperti dari lembaga pemerintahan atau
lembaga informasi seperti perpustakaan.
Perpustakaan merupakan media
dan sumber informasi yang autentik dan kredibel. Sumber ilmu pengetahuan dan
informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dan jelas kebenarannya dapat diperoleh
dari perpustakaan. Perpustakaan menyimpan berbagai koleksi dan informasi, baik
dari koleksi umum seperti buku, majalah, koran, dsb; koleksi digital seperti
audio, video, ebook, dsb; hingga koleksi referensi seperti kamus, ensiklopedia,
bibliografi, indeks, dsb.
Perpustakaan juga
memberikan serangkaian pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai
pemustaka. Pelayanan yang berhubungan dengan pemenuhan informasi secara
langsung salah satunya adalah layanan referensi atau biasa disebut layanan
rujukan. Layanan ini merupakan layanan pokok atau layanan utama yang harus
dimiliki oleh perpustakaan dalam menyajikan informasi melalui koleksi
referensi. Layanan referensi memiliki sejumlah tujuan dan fungsi untuk
pemenuhan kebutuhan informasi.
Layanan referensi
bertujuan untuk memberikan
arahan kepada pemustaka untuk menemukan informasi yang dibutuhkan dengan cepet
dan tepat dengan menggunakan berbagai pilihan sumber informasi yang lebih luas
dan dengan koleksi yang tepat guna. Menurut Fidan (2014),
agar pelayanan informasi dapat berjalan dengan baik, petugas perlu memahami
terlebih dahulu fungsi-fungsi referensi diantaranya seperti berikut.
1. Fungsi Pengawasan
Petugas
referensi dapar mengamati pengunjung baik dalam hal kebutuhan informasi yang diperlukan
maupun latar belakang sosial dan tingkat pendidikannya agar dapat menjawab
pertanyaan dengan cepat dan tepat.
2. Fungsi Informasi
Fungsi
yang terpenting dari pelayanan referensi adalah memberikan informasi kepada
pengunjung yaitu memberikan jawaban pertanyaan singkat maupun penelusuran
informasi yang luas dan mendetail sesuai dengan kebutuhan pemakai.
3. Fungsi Bimbingan
Petugas
referensi harus menyediakan waktu guna memberikan bimbingan kepada pengguna
perpustakaan untuk menemukan bahan pustaka yang dibutuhkan, misalnya melalui
katalog perpustakaan.
4. Fungsi Intruksi
Pemberian
intruksi yang dimaksudkan adalah sebagai cara untuk memperkenalkan kepada
pemakai tetang bagaimana menggunakan perpustakaan yang baik disamping itu
ditujukan juga kepada usaha untuk menggairahkan dan meningkatkan penggunaan
perpustakaan.
5. Fungsi bibliografis
Petugas
referensi perlu secara teratur menyusun daftar bacaan atau bibliografi untuk
keperluan penelitian atau mengenal bacaan yang baik dan menarik.
6. Pemilihan/Penilaian
Memberikan
petunjuk tentang bagaimana cara memilih/menilai bahan pustaka yang bermutu dan
berbobot ilmiah agar diperoleh sumber informasi yang berdaya guna maksimal.
Seiring perkembangan
zaman, layanan referensi berevolusi sesuai dengan perkembangan teknologi dan
informasi yang berkembang saat ini. Kemudahan akses saat ini juga harus
diselaraskan dengan kemudahan pemberian layanan referensi kepada pengguna
informasi. Oleh karena itu, konsep layanan referensi digital atau virtual mulai
bermunculan di kalangan perpustakaan. Layanan referensi digital semakin
mempermudah pustakawan referensi sebagai pemberi layanan karena pemberian
layanan diberikan melalui media internet dan komputer untuk melakukan interaksi
sehingga kehadiran secara langsung tidak dibutuhkan. Layanan referensi digital
ini juga memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan ketepatan informasi pula.
Sebagai masyarakat informasi, perlu memiliki
kepekaan dan pengetahuan mengenai pemilihan sumber informasi yang terpercaya.
Masyarakat harus teliti dan cermat dalam memilih dan memilah informasi yang
tersebar terutama di media internet sehingga tidak terkecoh dengan adanya
informasi palsu yang sedang tersebar. Oleh karena itu masyarakat informasi
harus jeli dalam menerima dengan tidak serta merta menerima informasi
mentah-mentah, namun juga harus mengolah informasi tersebut dengan mencari tahu
kebenarannya lewat sumber informasi yang autentik dan kredibel. Menurut
Inayatullah (2018), terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan
untuk mewaspadai hal tersebut.
1. Pertama, Cek and Ricek
Berita atau Informasi. Pengecekan informasi menjadi hal mendasar yang mesti
diterapkan, beberapa langkah yang bisa dijadikan cara untuk mengecek kebenaran
yang dibahas dalam pelatihan ini antara lain : (a). Mengecek nama domain, (b).
Mengecek penanggung jawab (redaksi) dan alamat media, (c). Mengecek data domain
melalui Who is domain, (d). Mengecek Tanggal Sumber berita, (e).
Membandingkan dengan berita dari media yang lain, (f). Jangan membuka kembali
media yang mengirimkan hoax.
2. Kedua, Belajar kritis, kita tidak bertanya
berita atau informasi yang diterima benar atau salah. Kita boleh bertanya
siapa yang menyampaikan dan apa kepentingannya menyampaikan itu. Lalu kita juga
bertanya siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan oleh berita itu. Lalu
kita juga harus mempertanyakan pada berita itu ada ketidakberesan sosial apa
didalamnya. Ketidak beresan sosial itu bisa apriori negatif, prasangka negatif,
bisa diskriminasi, bisa mencari kambing hitam, bisa juga menyalahkan suatu kelompok.
Kita harus betul-betul kritis menerima berita itu tidak asal terima saja atau
bahkan lalu men-share-nya. Ada istilah saring dulu baru sharing.
3. Ketiga, Kita harus memiliki pemikiran yang
terbuka, terhadap mungkin lawan politik kita atau pendapat yang berbeda dengan
kita, karena dengan begitu membuka perspektif kita. Bukan hanya kelompok kita
saja seakan akan yang paling benar (mutlak). Sehingga kita lebih banyak belajar
dan lebih dewasa, serta bijaksana tidak terjebak dan terbawa arus di era post
truth ini.
Untuk membantu
masyarakat dalam cermat dan teliti dalam memilih dan memilah informasi, layanan
referensi baik yang secara manual dan terlebih yang secara digital memiliki
sejumlah tugas untuk berperan dalam permasalahan tersebut.
1. Menjawab setiap
pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada layanan referensi. Di sini
pustakawan referensi berfungi sebagai informan yang membantu pengguna.
2. Menjawab pertanyaan-pertanyaan
pengguna dengan menggunakan koleksi referensi yang ada.
3. Membantu pengguna menelusur koleksi
referensi dan mencari informasi pada koleksi referensi tersebut.
4. Membimbing pengguna dalam
menggunakan koleksi referensi apabila pengguna tersebut tidak mengetahuinya.
5. Melayani pengguna internet yang
terdapat di layanan referensi dan membantu mereka menelusur literatur-literatur
online yang dibutuhkan atau dicari apabila pengguna meminta bantuan.
6. Melakukan bimbingan pemustaka melalui
kegiatan orientasi perpustakaan yang dilakukan secara rutin.
7. Melakukan klarifikasi terhadap suatu
isu informasi palsu dengan memaparkan informasi yang sebenarnya dan menyajikan
data berisi fakta.
8. Memberikan pemahaman dan pengetahuan
mengenai memilih dan memilah informasi yang benar dengan sumber informasi digital.
Kesimpulan
Maraknya isu informasi
palsu di era post-truth dapat
diminimalisir dengan adanya layanan referensi digital di perpustakaan sebagai
sumber informasi yang kredibel dan autentik. Peran dan sejumlah upaya yang
dapat dilakukan perpustakaan untuk meminimalisir dampak fenomena tersebut
diantara seperti dengan menjawab pertanyaan secara digital lewat layanan
referensi digital dari pemustaka sesuai dengan bahan koleksi referensi yang
tersedia di perpustakaan, melakukan serangkaian bimbingan kepada pemustaka,
memanfaatkan koleksi referensi sebagai bahan informasi utama, serta melakukan
klarifikasi terhadap isu dan informasi palsu yang tersebar dengan memaparkan
sejumlah data faktual dari sumber terpercaya.
Selain dengan
mengandalkan layanan referensi digital dari perpustakaan, masyarkat dapat
melakukan tindakan antisipasi untuk mencegah agar tidak terkecoh dengan adanya
informasi palsu yang bersumber dari opini pribadi. Masyarakat informasi sebagai
pengguna yang membutuhkan informasi juga harus kritis, cermat, dan teliti dalam
memilih dan memilah informasi dengan melakukan sejumlah tindakan antisipasi
agar tidak termakan oleh informasi palsu. Masyarakat informasi perlu melakukan crosscheck dan berpemikiran terbuka
terhadap keberadaan informasi yang tersebar di masyarakat.
Daftar
Pustaka
Bopp, Richard E. 2011. REFERENCE AND INFORMATION SERVICES. California: ABC-CLIO, LLC.
Inayatullah.
2018. Literasi Media di Era Post Truth. https://dpk.bantenprov.go.id/read/informasi-perpustakaan/587/Literasi-Media-di-Era-Post-Truth.html.
Diakses pada 10 Oktober 2018.
Lankes, R. David. 2009. NEW CONCEPTS IN DIGITAL REFERENCE. Morgan & Claypool
Publishers.
Prasetiawan, Imam Budi. 2014. LAYANAN REFERENSI DI ERA DIGITAL DAN AKSES KE BERBAGAI SUMBER INFORMASI.
Presentasi dalam Workshop Nasional FPPTI 2014.
Safira, Fidan. 2014. LAYANAN REFERENSI PERPUSTAKAAN.
https://fidansafira.wordpress.com/2014/10/04/layanan-referensi-perpustakaan/.
Diakses pada 8 Oktober 2018.
Setiadji, Cahyo Adi. 2011. SUMBER INFORMASI. http://cahyo-andi-s.blog.ugm.ac.id/2011/10/01/sumber-informasi/.
Diakses pada 11 Oktober 2018.
Utomo,
Wisu Prasetya. 2017. SELAMAT DATANG DI ERA POST-TRUTH. http://www.remotivi.or.id/kabar/345/Selamat-Datang-di-Era-Post-Truth.
Diakses pada 12 Oktober 2018.
Wiratningsih, Riah. 2014. KOLEKSI REFERENSI DAN LAYANAN REFERENSI.
http://riah.staff.uns.ac.id/2014/03/28/koleksi-referensi-dan-layanan-referensi/.
Diakses pada 8 Oktober 2018.
Subscribe to:
Posts (Atom)